Haji Perpisahan

(Cerpen Karya Iqbal, guru Bahasa Arab MAN 2 Bulukumba)

Husain berwuquf di padang Arafah dan puas. Tidak ada lagi yang diinginkannya setelah ini. Semua yang pernah diinginkannya sebelum ini, tidak penting. Di sini, di bawah terik matahari yang membakar, ia merasa sangat dekat dengan Allah. Entah karena apa ia merasa sangat yakin, jika sekarang ia meminta sesuatu, ia tidak akan dikecewakan. Permintaan itu akan dikabulkan. Namun saat ini, sama sekali tidak ada yang ia inginkan selain jatuh khusyuk dalam sujud dan zikir yang panjang. Sangat panjang. Dan seperti itulah, doa Husain pun terkabul.

Sujud dan zikir Husain tak pernah usai hingga akhir hayatnya. Ya, Husain wafat di. Padang yang mulia, padang Arafah. Meninggalkan dunia yang tak kan lagi sanggup mengganggunya. Meninggalkan nafsu amarah yang tidak akan lagi sanggup menyentuhnya. Menanggalkan pakaian jasad yang tak kan lagi sanggup mengekangnya.

Seseorang dari kedutaan besar Indonesia di Saudi Arabia harus melakukan tugasnya dan menelepon. Emak menerima kabar itu dengan perasaan campur aduk. Anaknya Husain adalah yang satu-satunya, dari suami yang kini telah tiada. Husain sepanjang hidupnya telah bekerja secara jujur dan sungguh-sungguh. Ia selalu terlihat lelah di balik seragamnya. Namun senyum juga tidak pernah meninggalkan wajahnya setiap kali ibunya menyapa.

“Senyum itu ibadah, Nak. Selelah apapun kamu, tersenyumlah.”

” Iya, Mak.” Begitu obrolan mereka, sekali waktu. Satu-satunya yang dapat membuatnya ceria adalah ketika hari gajian tiba. Ia akan menyisihkan sebagian gaji ke tabungan hajinya. Lima tahun lalu, tabungan itu cukup untuk memberangkatkan Sang Ibu. Lalu tahun ini, giliran Husain.

Saat melihat penampilan Husain memakai ihram pertama kali setelah ikut manasik haji, mereka berdua tak bisa menahan air mata.

“Mak, Akhirnya Husain bisa naik haji!” Masih terkenang kata-kata itu diucapkan anaknya seperti seorang anak kecil mengecap es krim pertama kali. Dan kini anak baik yang selalu terlihat lelah dalam senyumnya itu telah tiada. Kehidupan telah membebaskan anaknya dari penjara dunia, kematian kini merangkulnya dengan mesra.

Masih terngiang percakapan terakhir via telepon beberapa hari lalu.

“Mak, Ka’bahnya besar banget ya! Allahu akbar. Allahu akbar!”

“Iya, Nak, Emak berasa mau pingsan waktu lihat pertama kali.”

“Husain juga Mak! Tapi dikuat-kuatin.”

“Anak emak memang kuat koq!”

“Haha. Iya, Mak. Saking kuatnya, pulang dari sini, Husain mau nabung lagi buat kita umroh bareng.!”

 “Katakan insya Allah, Nak.”

“Astaghfirullah. Astaghfirullah. Iya, Mak, insya Allah. Insya Allah.”

Insya Allah, jika Allah berkehendak. Dan kini Allah telah menunjukkan kehendaknya.

Para kerabat telah berkumpul. Agenda takziyah telah rampung. Semuanya telah diurus tanpa Emak repot atau susah suatu hal pun. Seolah ada tangan tak terlihat yang menggerakkan segalanya menjadi beres dan lancar. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Rasul Bersabda, mereka yang wafat dalam perjalanan haji adalah syahid. Sementara Allah berfirman dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 145, bahwa mereka yang syahid itu tidak mati, mereka ada bersama kita, namun kita tidak menyadarinya. Hari ini, Emak merasakan kehadiran Husain di sisinya. Tersenyum dalam balutan ihram yang putih bersih.

“Terima kasih, Nak.” Air mata ibu yang konon katanya dapat memadamkan api neraka, sekali lagi menetes.(*)