(Cerpen Andi Makkaraja, Pernah Dimuat Harian Kompas, 29 Juni 2019)
Tahun 1956 yang rusuh, perang pecah di kawasan Ipantarang Embayya[1] dan sekitar hutan adat Kajang. Penyerangan yang kau sebut sebagai aksi Bumi Hangus itu, yang tak bisa dikatakan berhasil, tentu saja akan menyisakan banyak hal. Rumah-rumah yang terbakar, kuar bubuk mesiu, anyir darah, kepala yang tanggal, dan terakhir, tentu saja dendam.
Hal yang kusebutkan terakhir itu mendatangimu pada sebuah malam yang gulita. Kau menemukan kepala puangmu[2] tergeletak tak berdaya di depan rumah panggungmu, sementara tubuhnya ditemukan membusuk di tepi sungai tepat sehari setelahnya. Kau tak menuding yang lain selain Gerakan Dompea. Siapa lagi yang akan melakukan pembunuhan semacam itu terhadap puangmu selain mereka, yang tentu saja dilandasi oleh dendam?
Dan hari ini kau menodongkan moncong bedilmu di keningku yang kuartikan sebagai awal mula balas aksimu atas kepala puangmu yang kau temukan tanpa tubuh itu. Sekilas tak lagi kulihat sisa-sisa cinta di kedua matamu. Hanya amarah yang gamblang dan tak sabar ingin tumpah.
“Katakan, Hani, siapa saja yang menjadi mata-mata di kampung ini?” Kau menggertak. Aku geming, menatapi matamu, berusaha menerka kilat cinta yang aku yakin sengaja kau kekang di antara kedua sudut matamu yang kacau.
“Katakan, Hani, siapa di kampung ini yang terlibat dompea? Jangan diam saja.” Kau menegaskan di kata-kata terakhirmu. Seperti berusaha keras membuatku bicara agar tak ada alasan bagimu atau pun gerombolanmu untuk berbuat kasar kepada perempuan sepertiku, namun tetap dengan moncong bedil yang lekat di keningku.
“Katakan, atau ….” Belum selesai kalimatmu, kau sudah memutar bedilmu dan popornya kini sempurna mengancam dadaku.
Aku tetap geming, menatapi matamu yang resah. Kau gagal menekan perasaan cintamu agar tak kelihatan di permukaan, Gau’.
“Atau kepala suamimu belum cukup, hah? Apa perlu kurenggut juga kepala ettamu[3] yang sialan itu supaya kau bicara, hah?”
Telah seminggu Bate menghilang. Minggu lalu ia pamit kepadaku untuk datang mengajar di sebuah Sekolah Rakyat tempat ia biasa mengajar selama ini, namun hari itu ia tak pulang seperti biasanya. Salah satu muridnya kemudian mengabarkan kepadaku bahwa ia dijemput lelaki-lelaki gondrong bersenjata. Seorang di antara lelaki-lelaki itu sesekali memopor tengkuknya agar ia gegas berjalan. Aku sudah menyangka kau terlibat penculikan suamiku itu dan keyakinanku menjadi nyata ketika hari ini kau datang kepadaku dengan karung berisi kepalanya.
***
Setelah KGSS (Kesatuan Gerilyawan Sulawesi Selatan) ditolak pemerintah untuk ikut tergabung dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) karena cacat administrasi, mereka lalu melakukan gerilya keluar masuk hutan. Beberapa bulan setelahnya, kau juga mulai bergabung dalam kesatuan itu dengan wilayah operasi di tiga distrik; Hero, Lange-lange, dan Kajang—keputusanmu yang kemudian sangat kusesalkan. Kau dan gerombolanmu melakukan pemberontakan di sana-sini dengan berbagai alasan yang sungguh tidak gampang untuk kupahami. Alasan yang paling sering kau katakan kepadaku adalah perkara penolakan pemerintah itu, dan alasan ingin memurnikan Islam. Tapi di lain sisi, kau dan gerombolanmu justru banyak menyengsarakan kami dengan pembakaran rumah, penjarahan hasil kebun, penculikan, bahkan pembunuhan. Kau semakin getol bergerilya, setia menyandang brengun di bahumu, dan rambutmu sengaja kau panjangkan. Aku tak lagi melihat lelaki yang kucintai, dan tanpa sadar, kau menempatkan hubungan kita dalam posisi yang pelik.
“Gau’, apa kau ingin menukar perasaanmu kepadaku, menukar hubungan kita, dengan nafsumu itu?”
“Apa yang saya lakukan ini tidak ada hubungannya dengan cinta kita, Hani. Kau tenanglah! Kita pasti akan menikah.”
“Menikah katamu? Bagaimana mungkin itu akan terjadi kalau etta tak setuju?”
Etta membenci gerakan gurilla[4], baik secara personal, maupun secara ideologi. Tak henti kuingatkan kau perihal itu. Yang kau putuskan justru menciptakan sesak di dadaku; kau mendahulukan gerakan gerombolanmu yang kau anggap mulia itu, dan menomorduakan hubungan kita.
Akhir tahun 1952, ganrang[5] bertalu lantang dan menambah riuh hajatang bunting[6] daengku[7]—Andi Jafar. Itu adalah hari ketiga ganrang membisingkan langit kampung ini, yang ternyata mengusik gerombolan. Tepat ketika Andi Jafar bersanding duduk dengan istrinya di atas pelaminan, gerombolan tiba-tiba datang dengan beringas. Masih kuingat jelas bagaimana mereka menghentikan paksa paganrang[8] menabuh ganrangnya. Dan menanggalkan satu demi satu balli’[9] yang terpasang di dinding rumah kami—balli’ yang menjadi penanda kebangsawanan Andi Jafar sebagai pengantin—dan juga menikam Andi Jafar yang berusaha melakukan perlawanan dan mempertahankan kehormatannya. Perut Andi Jafar tak henti mengucurkan darah hingga tiba kematiannya.
Sejak kejadian yang membuat mukanya seperti dilempari tahi anjing itu, etta secara pribadi membenci gerombolan mati-matian. Dan memang secara ideologi, pemikiran etta dan gerombolan sangat bertolak belakang. Gerombolan ingin menghapus perbedaan asal-muasal keturunan. Bagi mereka, tak ada karaeng[10], puang[11], atau pun ata[12]. Semuanya sama dan setara. Sementara etta kukuh mempertahankannya yang ia anggap sebagai warisan leluhur.
Didorong benci dan dendam, etta menabuh genderang perang di dadanya terhadap gerombolan. Ia menghasut bangsawan lainnya untuk melakukan perlawanan. Banyak yang setuju, tapi nyali saja tentu tak cukup untuk melawan gerombolan yang rajin mendapatkan pasokan senjata. Pasokan-pasokan senjata itu mereka dapatkan dari kapal-kapal Jawa
Kabar baik mendatangi etta ketika Tentara Jawa dikirim ke Sulawesi untuk melaksanakan Operasi Tumpas terhadap gerombolan, termasuk dikirim ke afdelling Bulukumba. Etta kemudian berusaha menjalin hubungan yang baik dengan pihak tentara. Ia sering memasok informasi tentang gerakan-gerakan gerombolan, seperti kapan dan di mana mereka akan melakukan pengrusakan jalan atau jembatan. Atau, beberapa kali ia menjadi alasan anggota gerombolan tiba-tiba lenyap dan baru ditemukan beberapa hari dengan keadaan tak bernyawa.
Bertahun-tahun kusaksikan etta berusaha keras melenyapkan gerombolan. Tak hanya menjalin hubungan dengan tentara, ia juga memiliki hubungan yang baik dengan Gerakan Dompea di Kajang. Baginya, tak ada celah apapun untuk berdamai dengan gerombolan. Dan kau, Gau’—lelaki yang kucintai—justru memutuskan untuk ikut bergerilya. Kalau saja mulutku tak kaku dan serasa terkunci untuk bicara saat ini juga, ancaman popor bedilmu itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan hunjaman kata-katamu ke dadaku ketika kau memutuskan mengutamakan gerombolanmu ketimbang cinta kita.
***
Sampai saat ini, sampai kau mengancamkan popor bedilmu itu ke dadaku, aku belum mengerti alasanmu bergabung dengan gerombolan. Dan lebih-lebih tak mengerti mengapa itu semua lebih penting dari cinta kita, Gau’. Bukankah kau pernah berkata memimpikan untuk hidup sampai tua bersamaku? Berjanji mengusahakan pernikahan yang indah dan mewah dengan susunan balli’ mengitari seluruh dinding rumahmu seperti yang dipersyaratkan etta.
Kau datang hari ini dengan karung berisi kepala suamiku, lalu bengis mengancamku dengan moncong dan popor bedilmu secara bergantian. Aku sampai harus menyelami kedalaman matamu untuk menebak dan mencari-cari sisa cintamu.
“Siapa lagi yang menjadi mata-mata dompea di kampung ini, Hani? Katakan!” Kau berteriak kecil. Menarik popor bedilmu yang hanya berjarak paling tidak dua jengkal dari dadaku. Lalu dengan bengis kau menyepak kepala Bate. “Ini kepala suamimu, ambillah. Atau ini belum cukup, hah? Bicaralah.”
Mengapa perang selalu panjang dan berlarut-larut? Ada yang perlu dijelaskan melebihi kepentingan-kepentingan dan hasrat untuk berkuasa. Adalah dendam yang pada akhirnya datang susul-menyusul.
Setelah aksi Bumi Hangus yang kau lakukan bersama gerombolanmu itu dengan alasan patuntung[13] sebagai ajaran yang tagut di Kajang, Dompea tak tinggal diam. Mereka tak lagi sekadar menunggu serangan gerombolanmu di Ipantarang Embayya. Mereka keluar. Berbaur dengan orang-orang di desa lain. Tujuannya untuk mematai-matai siapa saja yang terlibat dan menjadi gurilla. Mereka yang ketahuan atau sekadar dicurigai, biasanya tak lama lagi akan ditemukan tewas dengan keadaan mengenaskan. Yang paling sering dengan kepala putus, seperti yang terjadi pada puangmu yang dituding sebagai mata-mata gerombolanmu karena kau adalah anaknya.
Dan Bate—suamiku—adalah sasar pertama atas balas amukmu itu. Aku tahu kau memang sudah lama membencinya, tepatnya ketika etta memutuskan untuk menjodohkanku dengannya, alih-alih denganmu yang bertentangan ideologi dengan etta. Kau beralasan Bate punya kedekatan dengan salah seorang anggota Dompea. Dan dengan alasan yang sama pula, kau datang padaku hari ini. Menanyaiku dengan pertanyaan yang tak sedikit pun ingin kujawab, kecuali dengan tatapan nyalang ke dalam kedua bola matamu.
Apakah kita benar masih saling mencintai, Gau’?
Bulukumba, Februari 2019
Catatan:
- Ipantarang embayya : kawasan luar Kajang yang tidak begitu terikat adat.
- Puang : panggilan ayah untuk kasta kedua
- Etta : panggilan ayah untuk kasta pertama (bangsawan)
- Gurilla : sebutan untuk gerilyawan DI-TII
- Ganrang : gendang
- Bunting : pengantin
- Daeng : panggilan kakak laki-laki
- Paganrang : penabuh gendang
- Balli’ : dekorasi pengantin yang berbentuk anyaman bambu. Bentuknya biasanya disesuaikan dengan strata sosial mempelai.
- Karaeng : kasta pertama (bangsawan)
- Puang : kasta kedua atau tengah
- Ata : kasta ketiga (budak)
- Patuntung : nama kepercayaan yang dianut masyarakat suku adat Ammatoa Kajang di Bulukumba. Patuntung berarti tuntunan.