(Cerpen Andi Makkaraja, Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Nasional 2021)
Haji Yamin selalu bersungut-sungut sekaligus terheran-heran setiap kali lelaki gondrong itu menjadi muazin di masjid yang berada di dalam sebuah pesantren tua. Pesantren tua tempat Haji Yamin melakukan ibadah-ibadahnya. Pasalnya, setiap kali lelaki gondrong itu mengumandangkan azan, ia selalu melihat tiba-tiba banyak sekali semut berkerumun di dinding-dinding masjid. Sepanjang ingatannya, para santri selalu kerepotan mengusir semut-semut itu apabila terlanjur berkerumun karena jumlahnya tidak pernah sedikit. Itu membuat Haji Yamin menjadi tak suka kepada lelaki gondrong itu.
“Kalau urakan begitu, mestinya tak usah jadi muazinlah. Masih banyak yang lebih bersih, lebih rapi. Saya juga masih suka berazan.” Sungutnya.
Kejadiannya selalu sama. Sejak awal lelaki gondrong itu mengumandangkan azan, satu dua ekor semut mulai bermunculan dari kaki tembok. Seiring azan terus berkumandang, semut semakin banyak. Mereka berkerumun di dinding-dinding masjid, berbaris-baris rapi, dan sekali waktu ketika Haji Yamin memperhatikan semut-semut itu lebih dekat, keheranannya semakin menjadi. Ternyata semut-semut itu tak ada seekor pun yang berjalan atau sibuk mengangkuti makanan. Mereka diam. Serupa diamnya para jamaah di masjid itu yang khidmat mendengar alunan azan.
Tentu saja kejadian aneh yang berulang-ulang itu selalu luput diperhatikan orang lain selain Haji Yamin sendiri. Orang-orang tak peduli, atau tepatnya tidak menyadari sama sekali. Haji Yamin berbeda, tentu saja, sebab ia adalah orang yang paling peduli kepada masjid itu. Bahkan untuk urusan semut-semut aneh itu. Bisa dibilang ia jauh lebih peduli daripada para uztad dan guru di pesantren itu sendiri. Ia tidak mau masjid jadi kotor atau jadi sarang semut.
“Ini tempat suci. Rumah Allah. Harus selalu bersih. Atau mungkin saking urakangnya laki-laki itu, semut-semut mengikutinya ke mana-mana, mengikutinya sampai ke sini,” gumam Haji Yamin setengah menggerutu kepada lelaki gondrong yang menurutnya urakan itu.
Tahun 1960an Pak Dullah, orangtua Haji Yamin, mendirikan masjid itu dengan uang seadanya. Perjuangan pembangunannya semakin terasa ketika kemelut perang juga melibatkan masjid itu. Haji Yamin yang kala itu masih kanak, seringkali melihat beberapa lelaki gondrong datang dengan menyandang senjata di bahu mereka masing-masing. Tak semata tujuan mereka untuk bersembahyang, melainkan mengajak Pak Dullah dan segenap jamaah yang ikut membantu pembangunan masjid untuk turut serta mengangkat senjata. Berada dalam barisan mereka sebagai kelompok gerilyawan. Kelompok gerilyawan yang konon katanya bertekad menegakkan ajaran Islam di negeri ini.
“Bergabunglah dengan kami. Kita lawan tentara-tentara itu. Mereka ingin mengganggu cita-cita mulia kami untuk menegakkan Islam di negara ini. Apa nurani kalian tidak terpanggil?” Itulah ucapan dari salah seorang lelaki gondrong bersenjata yang paling lekat dalam ingatan Haji Yamin, sebab setelahnya, ucapan itu disusul kejadian yang mengerikan bagi kanak sepertinya. Ia melihat Pak Dullah dan beberapa jamaah lain yang menolak perintah itu, menolak berperang dengan mereka, dibentak-bentak dengan keras. Kemudian popor, moncong, dan bayonet para lelaki gondrong bersenjata bergantian memberikan ancaman kepada para jamaah yang tak berdaya. Tapi meskipun tak ada daya upaya untuk memberikan perlawanan, mereka tetap kukuh menolak perintah untuk berperang. Akibatnya beberapa orang kena popor di dada atau di tengkuk.
Dua hari kemudian, entah apa sebabnya, atap masjid yang sementara dibangun itu terbakar nyaris seluruhnya. Untung saja cepat-cepat dipadamkan sebelum benar-benar melahap seluruh bangunan masjid. Haji Yamin yakin pelakunya para lelaki gondrong bersenjata yang dua hari lalu datang dengan ancaman-ancaman mereka. Ya, sejak berpuluh tahun lalu itu, Haji Yamin selalu menaruh curiga kepada setiap lelaki berambut panjang yang datang salat di masjid yang pada akhirnya menjadi masjid pesantren itu. Pikiran yang berlebihan dan tidak adil.
“Jangan-jangan mereka mau berbuat onar lagi di masjid ini,” pikirnya dalam hati. Dengan alasan sama pula, Haji Yamin menjadi tak suka kepada lelaki gondrong yang rajin jadi muazin itu. Selain pula ia memang tak suka perawakan lelaki gondrong yang menurutnya berpenampilan urakan. Menurutnya seorang muazin tidak boleh kelihatan sesembarangan itu. Apalagi ditambah dengan kenyataan kerumunan semut selalu membersamai kedatangannya, membuat masjid menjadi kotor di mata Haji Yamin.
Masalahnya, Haji Yamin tidak bisa melarang lelaki gondrong itu untuk jadi muazin. Sekali melarangnya tentu saja akan merusak citranya sebagai orang saleh di mata para ustad dan guru pesantren. Dan yang paling utama, Haji Yamin takut berdosa kepada Tuhan. Sudah lama ia mengabdikan dirinya sebagai ahli ibadah. Bahkan demi bisa mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya, belasan tahun lalu ia mengajukan permohonan pensiun dini sebagai PNS. Ia tidak mau kesibukannya bekerja justru menjauhkannya dari Tuhan. Maka, ketika permohonannya dikabulkan negara, ia teramat girang. Ia benar-benar akan berhenti bekerja dan tidak akan lagi bertemu banyak orang demi bisa menjadi sedekat mungkin dengan Tuhan. Waktunya tidak akan habis demi pekerjaan lagi. Waktunya tidak akan terbuang percuma ketika bertemu dan mengobrol dengan orang lain sampai lupa waktu. Ya, ia bertekad benar-benar akan menggunakan waktunya hanya untuk beribadah saja. “Saya hanya mau berurusan dengan Allah saja. Berurusan dengan orang lain tak perlulah saya pikirkan,” gumamnya.
Dan Haji Yamin hanya ingin melakukannya di masjid pesantren itu saja sebab ia sudah merasa kerasan sejak kecil. Maka sebagian uangnya ia sumbangkan untuk perbaikan masjid. Sebagian lagi membantu pembangunan pesantren. Namanya memang tercatat sebagai donatur tetap masjid dan pesantren itu. Ia menyumbang nyaris setiap pekan dengan menyisihkan uang pensiunannya. Pengurus masjid tak pernah lupa mengumumkan uang sumbangan darinya setiap menjelang salat jumat. Haji Yamin akan menyimak pengumuman itu dengan dada penuh dan perasaan penuh kebanggaan. Apalagi bila ternyata dalam satu pekan itu sumbangan darinyalah yang paling banyak. Ia akan semakin bangga. Semakin merasa dirinya penuh dengan ibadah.
“Amal jariyahku dan ibadah-ibadah lainnya pasti akan membuatku masuk surga,” begitu yakinnya.
***
Tapi suatu hari, setelah ia mendengarkan ceramah ustad tamu di pesantren itu, keyakinanya menjadi goyah, sekaligus ia menjadi semakin kesal kepada lelaki gondrong yang kerap datang berazan itu. Pasalnya isi ceramah ustad menyinggung-nyinggung tentang hewan-hewan yang berzikir kepada Allah, termasuk salah satunya adalah semut. Haji Yamin memang tahu bahwa membunuh hewan adalah perbuatan dosa, tapi tentang hewan-hewan yang berzikir kepada Allah, ia baru mendengarnya. Sungguh-sungguh baru mendengarnya.
Maka, ia langsung mengingat kerumunan semut yang tidak pernah tidak hadir setiap kali lelaki gondrong itu bertindak sebagai muazin. Ia mengingat bagaimana semut-semut itu tiba-tiba saja berkerumun sejak mula si lelaki gondrong melantunkan lafaz azan. Ia mengingat bagaimana semut-semut itu justru diam saja. Bukannya berjalan-jalan atau mengangkut makanan sebagaimana layaknya semut yang biasa ia lihat.
“Mereka diam saja. Mungkinkah semut-semut itu sedang berzikir, sedang mengagung-agungkan Allah mengikuti azan laki-laki gondrong itu?” Haji Yamin berdiskusi dengan dirinya sendiri. Ia gusar.
“Ah, tapi saya tidak mendengar ustad itu mengatakan secara jelas bagaimana cara hewan berzikir. Dia tidak pernah mengatakan kalau hewan berzikir maka mereka akan diam.” Debatnya lagi kepada diri sendiri sambil mengingat-ingat isi ceramah yang ia dengarkan hari itu.
“Lalu kenapa kerumunan semut di dinding masjid yang jumlahnya barangkali ribuan itu sama-sama diam seperti itu, ya? Seolah ada yang komandoi saja. Apakah mereka memang mengikuti suara azan si laki-laki berambut panjang? Apakah itu sungguh-sungguh terjadi?” Ia masih berusaha menyimpulkan, sekaligus bertanya-tanya.
“Tapi ah, mana mungkin laki-laki gondrong, urakan, dan sembarangan seperti dia bisa sampai seistimewa itu? Sampai-sampai hewan ikut berzikir dengannya. Dia kan tidak jelas apa pekerjaannya. Mana mungkin juga laki-laki tak jelas begitu punya amalan yang membuatnya sampai seistimewa itu.” Gumamnya tak sadar menghina. Tapi tetap saja ia tidak bisa begitu yakin.
“Atau barangkali dia punya ilmu kesaktian yang bisa membuatnya berbicara dengan hewan?” Haji Yamin menimbang-nimbang pikirannya yang itu. Menganggapnya itu bisa saja terjadi. Tapi ia buru-buru membantahnya sendiri manakaka teringat kisah Nabi Sulaiman yang memiliki kemampuan berbicara dengan hewan. “Apa kira-kira laki-laki gondrong itu punya kemampuan seperti Nabi Sulaiman yang tidak memerlukan sihir untuk berbicara dengan hewan?” gumamnya.
“Ah mana mungkin laki-laki gondrong itu bisa punya kemampuan seperti Nabi Sulaiman. Tidak mungkin. Dia jelas-jelas tidak saleh seperti Nabi Sulaiman. Tidak tawaduk seperti saya. Dia bukan orang saleh.” Lagi-lagi Haji Yamin kemudian membantah dirinya sendiri.
Maka, untuk mencari tahu kebenaran pikiran-pikirannya itu, Haji Yamin berinisiatif sesekali menjadi muazin. Setiap kali itu, ia akan menyuruh beberapa santri memperhatikan dinding masjid. Apakah semut juga banyak yang berkerumun dan diam apabila ia tengah melantunkan azan?
Namun, jawaban para santri yang kompak membuatnya semakin kesal. “Tidak ada, Pak Haji. Sama sekali tidak ada semut.”
“Kalian yakin?”
“Yakin, Pak Haji.”
“Kalian sudah memeriksanya? Di dinding, di pintu, atau mungkin di seng?”
“Sudah semua, Pak Haji. Kami memang tidak melihat seekor semut pun.”
Haji Yamin menjadi semakin kesal. Apalagi di hari-hari berikutnya ketika lelaki gondrong itu kembali datang berazan barang dua atau tiga kali, dan seperti biasa semut-semut kembali berkerumun dan diam mendengar lantunan azannya. Haji Yamin bertambah kesal saja. Sesekali ia kembali tetap mencoba memberanikan diri berazan, namun semut memang tak pernah tertarik pada lantunan azannya.
“Masak iya laki-laki gondrong dan urakan itu orangnya saleh? Mana mungkin dia mengalahkan kesalehan saya. Saya sudah mengabdikan diri hanya untuk beribadah kepada Allah. Berhenti bekerja agar punya waktu untuk beribadah lebih banyak. Berhenti berinteraksi dengan banyak orang agar bisa khusyuk beribadah. Semua orang juga tahu itu. Semua yang kenal saya pasti tahu itu. Jadi mana mungkin dia mengalahkan kesalehan saya. Memperhatikan kebersihan pakaian dan tubuhnya saja dia tidak becus.”
“Saya sudah mengasingkan diri dari banyak orang agar saya tidak pernah terlibat urusan yang tidak perlu dengan manusia. Pokoknya urusan saya hanya sama Allah saja. Kurang saleh apa saya?” Haji Yamin merutuk-rutuk.
“Sudah bertahun-tahun saya menyumbang untuk masjid ini. Pesantren itu juga rajin saya berikan sumbangan untuk peningkatan pembangunannya. Lagi-lagi semua orang tahu itu. Jadi kurang banyak apa amal jariyah saya? Kurang saleh apa saya? Tidak mungkin laki-laki gondrong, urakan, dan tak jelas itu lebih saleh dari saya. Tidak mungkin.”
Dengan kekesalan yang menjadi-jadi, esoknya Haji Yamin kemudian membawa racun pembunuh serangga ke masjid. Ia lalu menaburkan dan menyemprotkan racun itu ke segala penjuru masjid. Ia ingin mengusir semua semut itu agar tak pernah kembali dan membuatnya terus-terusan merasa kesal. Semut-semut itu memang berhasil dihilangkan, namun mereka selalu bisa kembali setiap kali lelaki gondrong itu kembali menjadi muazin. Haji Yamin kesal bukan main.
***
Tapi sekesal-kesalnya Haji Yamin, ia menyimpan rasa penasaran juga. Ia benar-benar ingin tahu apa benar ada amalan khusus yang selalu dilakukan lelaki gondrong yang disukai semut-semut itu. Maka, ia pun mencari tahu.
Pertama-tama, Haji Yamin mencari tahu siapa sebenarnya lelaki gondrong itu. Siapa saja keluarganya. Suatu pagi, ketika si lelaki gondrong baru saja pulang dari salat subuh di masjid pesantren, Haji Yamin mengikutinya dari belakang dengan sembunyi-sembunyi. Haji Yamin merasa tidak heran ketika beberapa ratus meter kemudian lelaki gondrong itu berbelok ke sebuah lorong gang kecil. Haji Yamin tahu siapa saja yang tinggal di tempat semacam itu. Mereka adalah orang-orang yang banyak hidup di jalan. Pemulung, pengemis, dan anak-anak jalanan.
Karena sudah bertekad untuk tahu apa saja yang dilakukan lelaki gondrong itu dalam kesehariannya, Haji Yamin pun mengikutinya sampai ke dalam lorong gang kecil. Haji Yamin menduga-duga bisa saja lelaki gondrong itu tinggal bersama kedua orangtuanya yang sudah renta dan ia melakukan bakti yang luar biasa kepada mereka. Apabila memang begitu kenyataannya, maka Haji Yamin akan menjadi tak heran sebab berbakti kepada kedua orangtua memang salah satu perintah Allah yang paling utama. Ya, maka akan sudah terasa wajar semut-semut menyukai lelaki gondrong itu.
Tapi, dugaan Haji Yamin tidak terbukti. Di rumah lelaki gondrong itu tak ada sesiapa pun. Hanya dirinya sendiri yang terlihat siap-siap memanggul karung. Karung yang Haji Yamin yakini akan digunakan lelaki gondrong itu untuk memulung sampah.
“Dia tinggal sendiri?” Tanya Haji Yamin kepada salah seorang penghuni gang.
“Dia siapa yang Pak Haji maksud?”
“Laki-laki gondrong itu.”
“Di sini banyak yang berambut panjang. Mau saya sebutkan namanya satu-satu?”
“Eh tak perlu repot-repot sebut nama semuanya. Yang di sana tuh. Itu. Kau lihat, sudah?” Ia mengencangkan telunjuknya.
“Oh, itu Japar.”
“Ya, terserah kau. Apa dia tinggal sendiri?”
“Iya, Pak Haji.”
“Kau yakin?”
“Yakin.”
“Orangtuanya mana?”
“Sudah lama meninggal, Pak Haji.”
“Jadi dia benar-benar tinggal sendiri?”
“Ya, tapi dulu tidak.”
“Dulu sama siapa?”
“Pernah ada empat orang anak jalanan yang tinggal bersamanya. Tapi anak-anak itu juga bukan anaknya. Japar tidak pernah menikah. Ya, biasalah. Pasti itu anak-anak yatim piatu yang dia pungut di jalan.”
“Sekarang mereka ke mana?”
“Tidak ada yang tahu. Mungkin sudah diusir Japar.”
Mendapat jawaban yang tidak memuaskan, Haji Yamin kembali mengulang menguntit lelaki gondrong itu. Ia melakukan itu selama beberapa hari. Dan yang ia lihat hanya itu-itu saja. Hampir setiap subuh lelaki gondrong datang berazan di masjid pesantren. Pulangnya ia langsung menuju rumah dan meninggalkan kembali rumahnya dengan bahu dipangguli karung. Di tempat pulungannya lelaki gondrong itu tak juga melakukan apa-apa selain memulung saja dan mengobrol dengan sesamanya pemulung. Tak ada yang istimewa—sesuatu yang bisa menunjukkan bahwa lelaki gondrong itu adalah orang yang saleh. Tak ada. Karena itu semua tak juga menjawab rasa penasaran Haji Yamin, ia berhenti mengikuti lelaki gondrong itu. Dan kemudian kembali berpikir perihal semut-semut itu.
“Semut-semut itu tidak menunjukkan tanda apa-apa. Hanya kelakuan biasa dari sekerumunan semut,” gumamnya yakin kali ini.
***
Tapi bulan berikutnya, tepatnya di tengah siang jelang duhur, Haji Yamin kembali sedikit terusik oleh si lelaki gondrong. Pasalnya Haji Yamin melihatnya berpakaian dengan sangat rapi dan berjalan masuk ke arah pesantren. Bagian yang ditujunya adalah kantor tempat segala urusan administrasi pesantren itu dijalankan.
“Mau apa dia di pesantren ini? Aneh-aneh saja.” Haji Yamin terheran. Dan ia makin heran ketika lelaki gondrong itu terlihat sedang berbicara dengan salah seorang ustazah.
“Mau apa dia?” Tanya Haji Yamin kepada ustazah yang mengobrol dengan lelaki gondrong tadi. Haji Yamin tak bisa menahan diri untuk segera menanyakannya ketika lelaki gondrong itu sudah pergi dan terlihat berjalan melenggang ke bagian belakang pesantren.
“Siapa, Pak Haji?”
“Laki-laki yang gondrong tadi itu.”
“Oh, Pak Japar. Dia bayar uang sekolah untuk anak-anak yang dia sekolahkan di sini.”
“Oh, cuma bayar uang sekolah.”
“Memangnya untuk apa lagi, Pak Haji?”
“Saya pikir dia mau menyumbang untuk pesantren atau masjid kita.” Sahut Haji Yamin meremehkan. Ia sebenarnya sempat berharap jawaban dari rasa penasarannya akan ia temukan saat itu juga. Ya, bagi Haji Yamin menyumbang untuk pesantren dan masjid adalah bukti kesalehan yang nyata. Dan apabila lelaki gondrong itu juga melakukannya, maka wajar apabila semut-semut memang menyukainya. Tapi sayangnya, ternyata lelaki gondrong itu tidak melakukannya.
Selepasnya, Haji Yamin kemudian melihat lelaki gondrong itu disalami dan dicium tangannya oleh empat orang anak yang tampak mengenakan seragam sekolah pesantren. Mereka terlihat begitu girang didatangi oleh lelaki gondrong itu. Mereka berebut berlari ke dalam pelukannya. Semuanya bermanja-manja dengan penuh kasih sayang. Ada yang memeluk kedua kakinya. Ada yang menarik sebelah tangannya. Sebelah tangannya lagi sedang menggendong seorang anak yang lain. Sementara itu, satu anak yang paling besar berloncat-loncat gembira di depannya penuh kesenangan. Mereka bergantian mencurhatkan perkembangan belajar mereka di pesantren itu.
“Aku sudah hapal sampai juz 22, Pak.” Kata anak lelaki yang paling besar. Senyumnya merekah bahagia. Lelaki gondrong lalu mengusap-usap kepalanya memberi semangat. Tatapannya penuh kebanggaan dan rasa cinta.
“Kalau aku baru hapal Al-Fatihah dan Al-Ikhlas. Bapak jangan marah ya.” Yang digendong menyeletuk. Lelaki gondrong yang dipanggil Bapak itu pun kemudian mencium pipinya sembari mengatakan ‘tidak apa-apa, Nak. Itu sudah hebat.’
“Pak, tadi aku tampil berceramah lho di lapangan. Banyak yang mendengarkan. Bapak mau dengar tidak?”
“Boleh itu, tapi panjang tidak ceramahnya?”
“Panjang, Pak.”
“Kalau begitu besok ya baru Bapak dengarkan. Kan Bapak mau kerja dulu hari ini.”
“Baik, Pak.”
“Kalau aku …. aku sudah hapal semua kisah nabi dan rasul. Hapal nama-nama malaikat dan tugas mereka.”
“Wah, hebat semua ya anak-anak Bapak. Bapak bangga.” Lelaki gondrong itu tampak terharu dan bahagia.
Setelah cukup lama mengobrol dengan keempat anak itu, lelaki gondrong lalu melirik matahari, memperkirakan bahwa duhur akan masuk. Ia pun bergegas menuju masjid untuk kembali berazan. Empat orang anak itu mengikuti langkahnya.
Sementara itu, Haji Yamin yang melihat semua obrolan lelaki gondrong dengan keempat anak tadi, merasa bangga sendiri bahwa ternyata lelaki gondrong itu tidak mengalahkan kesalehannya. Tak ada tanda-tandanya sama sekali, ia menyimpulkan. Hal-hal yang dilakukan lelaki gondrong itu biasa-biasa saja. Tak ada keistimewaannya sama sekali, Haji Yamin menguatkan anggapannya.
“Memangnya menyekolahkan anak-anak jalanan lebih baik daripada menjadi ahli ibadah, apa? Tidak toh?” Pikirnya percaya diri.
Azan mulai berkumandang dari bibir lelaki gondrong itu. Mengalung merdu membelah angkasa. Dan Haji Yamin tidak tahu ribuan semut di dalam masjid sudah berkerumun dan diam dalam ketenangan yang khusyuk. Semut-semut itu akan kembali berzikir mengiringi lantunan azan si lelaki gondrong.(*)
Bulukumba, 2021